Saat rasa belum diketahui adanya
Dibawah naungan sinar rembulan,
pikir terhanyut dalam sebuah kenangan.
Masih teringat betul bagaimana lekukan bibir mu yang tipis itu, dengan hati-hati mengatakan kalimat yang membuat diri ini digulung keresahan.
Bintang di langit pun menatapku penuh tanya, “Apakah kau sanggup menantinya?”
Diri terusik oleh tanya yang terus menghantui.
Detik menuju menit, resah silih berganti.
Haruskah aku menanti tanpa kepastian dari mu?
Ataukah aku harus menghapus segala rasa –dan tentu kenangan dengan mu?
Untuk saat ini, biarkanlah aku dan waktu, yang akan menantimu dan menghitung kapan kau akan datang kembali.
Dan mengenai bagaimana keterlibatan perasaanmu, sungguh aku tak begitu peduli.
Yang penting, aku ingin kau kembali terlebih dahulu.
Duduk di kursi putih sebrang meja bundar kesukaan Ayah,
Menatapku, tersenyum,
Sambil meminum teh manis hangat, dan menikmati langit senja.
Seperti sedia kala, saat rasa belum ku ketahui adanya.
—MartabakManis
pikir terhanyut dalam sebuah kenangan.
Masih teringat betul bagaimana lekukan bibir mu yang tipis itu, dengan hati-hati mengatakan kalimat yang membuat diri ini digulung keresahan.
Bintang di langit pun menatapku penuh tanya, “Apakah kau sanggup menantinya?”
Diri terusik oleh tanya yang terus menghantui.
Detik menuju menit, resah silih berganti.
Haruskah aku menanti tanpa kepastian dari mu?
Ataukah aku harus menghapus segala rasa –dan tentu kenangan dengan mu?
Untuk saat ini, biarkanlah aku dan waktu, yang akan menantimu dan menghitung kapan kau akan datang kembali.
Dan mengenai bagaimana keterlibatan perasaanmu, sungguh aku tak begitu peduli.
Yang penting, aku ingin kau kembali terlebih dahulu.
Duduk di kursi putih sebrang meja bundar kesukaan Ayah,
Menatapku, tersenyum,
Sambil meminum teh manis hangat, dan menikmati langit senja.
Seperti sedia kala, saat rasa belum ku ketahui adanya.
—MartabakManis
Komentar
Posting Komentar