CERPEN: Mesin Tik Jahat

Mesin Tik Jahat

By: Arafah
Dedicated to: Muti and Oza

Berhati-hatilah dalam berpikiran jelek kepada temanmu karena setan bisa mendengarnya

                “Apa itu?”  tunjuk Firda pada sebuah benda yang tergeletak di meja belajar temannya.
                Jasmine, teman yang dikunjungi Firda mendongkak. “Maksudmu ini? ini mesin tik namanya.”
                “Ya aku tahu itu apa tapi untuk apa kau bawa mesin tik ke kamarmu,” sahut Firda. Hari itu Firda sengaja bermain ke rumah teman sekelasnya. Kebetulan rumah keduanya berdekatan dan kebetulan pula, mereka masih menikmati liburan ujian tengah semester sehingga jika Firda main dan datang pada sore hari pun tidak akan menjadi masalah.
                Awalnya mereka akan melakukan sesuatu di kamar Jasmine tapi Firda merasa aneh melihat sebuah benda yang menurutnya jarang dilihat saat ini bertengger di atas meja temannya. Mesin tik itu berwarna krem kusam namun bagian dalam jari-jari ketiknya tampak masih baru.
                “Melihat benda itu membuatku bertambah tua,” kata Firda kemudian. “Zaman sekarang mana ada yang masih pakai mesin tik. Sekarang ini orang-orang sudah biasa mengetik di computer, laptop, atau bahkan tablet. Ini? kita seperti kembali ke Zaman batu.”
                Jasmine terkekeh. “Menikmati benda kuno tidak berarti membuat diri kita kuno juga,” ia mengelus mesin tik itu. “Aku Cuma kagum melihat bagaimana benda ini dulu berguna untuk menulis. Aku jadi ingin mencoba menggunakannya.”
                Firda meringis. “Kasihan pohon donk. Mesin tik kan butuh banyak kertas untuk melakukannya dan itu sama saja dengan menghamburkan kertas dan membuat pohon menjadi langka.”
                Jasmine mengimbaskan tangannya. “Alah, jangan sok greenpeace gitu deh. Kan sama saja kamu mengetik menggunakan Microsoft word nanti pada ujung-ujungnya kamu harus mencetaknya melalui printer dan tetap saja kamu butuh kertas!”
                “Tapi kan jika kita salah mengetik di computer, kita masih bisa memperbaikinya dengan tombol perintah dan mengulanginya tanpa harus ganti kertas.”
                “Terus tip-x diciptakan untuk apa coba? Mesin tik juga punya solusi jika kita salah mengetik.” Jasmine tidak mau kalah.
                Firda akhirnya menyerah. “Okelah, okelah, kamu selalu menang……”
                Jasmine malah tertawa mendengar itu. “Ayolah, aku Cuma bercanda….. Lagipula kita bisa bersenang-senang dengan benda ini.”
                Firda mengambil kursi yang ada di depannya lalu memosisikan dirinya di sebelah Jasmine yang juga duduk menghadap meja belajarnya. Ia melongokkan badannya memandang luar jendela yang ada di depan meja. Cuacanya cerah sekali. sesekali ia melihat beberapa anak sedang bersepeda. Ia kemudian melirik mesin tik itu lalu memalingkan wajahnya kepada Jasmine. “Bagaimana caranya kita bersenang-senang dengan benda kuno ini?”
                Jasmine mendekatkan dirinya. “Hei, kita kan mau membuat cerita tentang kelas kita nih, aku mau membuatnya sekarang, dan kau akan bantu aku mencarikan sebuah cerita yang seru.”
                “Dengan mesin tik ini?”
Jasmine mengangguk mantap. “Aku saja yang akan mengetikkannya. Ayo, buatlah yang gokil. Kita membuat cerita dengan latar sungguhan, tokoh yang nyata di kelas kita, pokoknya benar-benar diambil dari figur yang ada, teman kita, guru kita, atau tentang pengalaman nyata kita selama di sekolah.”
“Kau bisa memulainya dari si Faiz,” celetuk Firda. “Buat cerita konyol tentang dia saja.”
Jasmine benar-benar tergelak dengan usulan temannya itu. Faiz memang musuh besar Firda. Keduanya selalu saja tidak pernah akur. Seperti anjing dan kucing. Faiz dengan seribu jahilnya tidak pernah bosan membuat Firda berang. Tapi di sisi lain, kadang Firda yang selalu memanas-manasi anak cowok itu. Ah, biasalah, benci-benci tapi lengket hehehe. Wali kelas mereka juga kadang suka iseng menjodohkan keduanya saking seringnya mereka bertengkar.
“Bagus….bagus…… aku suka idemu Fir,” Jasmine mengacungi jempol. Ia segera melakukan posisi, menarik satu kertas buram yang ada lalu memasukkannya ke celah gulungan tik dan memutar kenopnya. Kertas itu pun bergulir dan muncul dipermukaan yang berbeda. Layaknya penulis andal, Jasmine melemaskan jarinya-jarinya, dan mulailah jarinya menari di tombol-tombol tik yang berbunyi khas jika ditekan.
Tik….tik…..tik…..
Firda memerhatikan di sampingnya. Sepertinya ia belum bisa memberikan ide. “Dari mana kau dapat mesin tik ini?” tanyanya kemudian.
“Kemarin ayahku membawanya dari perkumpulan reuni teman kuliahnya,” Jasmine menjawab tanpa menoleh. “katanya teman ayahku menemukannya di loteng rumah lamanya. Ternyata masih berfungsi dengan baik. Teman ayahku itu lalu menghadiahkannya pada ayahku.”
Beberapa lama kemudian, Jasmine berseru girang. “Selesai! Aku sudah menuliskan sedikit tentang si Faiz yang kau kagumi itu,” matanya melirik jahil pada Firda.
Firda serta merta menarik kertas itu dari gulungannya. “Sini, coba aku baca,…..”
‘Ilham, atau biasa dipanggil Faiz, adalah anak cowok kelas 7 yang sok kegantengan. Wajahnya biasa-biasa saja tapi dia selalu mengaku-aku makhluk paling tampan di bumi. Gayanya flamboyant dan berjalan selalu elegan …. Kepercayaan dirinya setinggi langit yang tidak berujung …. Tapi kadang tidak didukung dengan kecerdasan otaknya …. Karena itulah saat ia turun dari tangga lantai dua kampus 3, ia jatuh terpeleset dan terpental hingga membentur pintu kelas sebelah …. ‘
“Hanya segini?” tagih Firda. “Aku pikir akan panjang,”
Jasmine menghela nafas. “Segitu juga lumayan lah. Lagi pula kan kau tidak memberi ide satu pun.”
“Hehe, ya deh, tapi aku suka bagian jatuhnya ini. ga akan kebayang jika kita lihat tampang sok kalemnya itu saat ia terpental dan menabrak pintu kelas sebelah.”
Jasmine hanya angkat bahu, “Yah, namanya juga imajinasi.”
“Kalau sungguhan sepertinya lucu ya,” gumam Firda, menatap nakal pada temannya.

Keesokan harinya di sekolah, segalanya berjalan sebagaimana biasanya. Jasmine dan Firda menjalaninya dengan rutinitas yang membosankan. Belajar, bermain, bercanda di kantin, lalu masuk kelas lagi. Semua sudah diprediksikan apa yang bakal terjadi, kecuali satu hal. Di hari yang cerah itu menjelang istirahat makan siang, cuaca tiba-tiba tidak bersahabat, segumpulan awan hitam menaungi langit sekolah. Tak beberapa lama, hujan turun begitu derasnya.
Herannya, hujan terjadi tidak kurang dari setengah jam. Sesudah itu, matahari kembali mengintip dari balik awan. Sebuah pelangi melintas di ujung kaki langit. Meski demikian, pelataran kelas, apalagi kelasnya Jasmine cukup basah dan licin. Tapi itu tidak memurungkan salah satu siswa.
Yeaaahhhh!!! Hujannya reda! Asyikkk……masih bisa main bola!” seru Faiz kegirangan saat bel istirahat berbunyi. Ya, hari itu tim Faiz akan bertanding pada ajang TUFC IV yang diadakan di sekolahnya. Kak Zaki, Ketua TUFC yang juga anak OSIS Divisi Olahraga mengatakan bahwa selama lapangan memungkinkan dipakai dan tidak hujan, maka pertandingan bisa dilangsungkan.
Alangkah senangnya Faiz. Ia sudah memimpikan sebuah kemenangan. Faiz didaulat sebagai striker terhebat di timnya. “Tunggu di lapangan ya!” ia berseru pada temannya Rafi. Rafi hanya tersenyum lesu. Anak itu sudah membayangkan kemalangan timnya saat bertemu Faiz nanti. Bagaimana tidak? Kocekan Faiz tidak ada yang bisa menandingi. Dua kali main, timnya tidak pernah kalah.
Faiz bersiul saat dirinya duduk di teras yang cukup licin untuk memakaikan sepatu futsalnya. Pada saat itulah, seseorang memanggil namanya, anak kelas 8.
“Faiz, dipanggil Bu Ia di atas tuh!” serunya. Bu Ia adalah guru komputer yang labnya ada di lantai 2 dari gedung kampus 3. Faiz mendongkak, meringis. Duh, saat-saat seperti ini ada gangguan. Padahal pertandingan akan dimulai 5 menit lagi. Sekarang ada peraturan bahwa jika ada satu anggota tim terlambat datang, maka pemain itu terkena sanksi tidak boleh main satu putaran.
“Memangnya ada apa sih?” tanyanya.
Anak kelas 8 itu hanya angkat bahu sambil berbalik. “Mana aku tahu, ayo buruan ke sana! Nanti Bu ia marah! Katanya penting….”
Oh, bahaya kalau guru itu marah. Bu Ia memang terkenal karena ketegasan dan disiplinnya yang ketat. Tidak boleh mengambil risiko, kata Faiz dalam hati. Coba aku ke sana dulu deh, masih ada waktu. Aku akan minta beliau untuk cepat-cepat jika ada perlu apa dengannya karena ia harus bertanding.
Faiz segera menanggalkan sepatunya lalu bergegas cepat naik ke lantai dua. Setibanya di depan pintu ICT, lab komputer, Faiz celingukan mencari Bu Ia. Guru itu sedang duduk di salah satu booth computer.
“Bu Ia manggil saya? Ada perlu apa bu?” Tanya Faiz dengan nada yang cepat dan nafas yang masih memburu. “saya sedang buru-buru karena akan bertanding, jadi maaf kalau saya minta cepat-cepat.”
Bu Ia malah menatap heran padanya. “Ibu tidak memanggilmu kok.”
Kaget lah Faiz. “Loh, bukannya katanya ibu tadi manggil saya?”
“Kata siapa?”
“Kata, kata….eh tadi kata siapa ya?” entah kenapa Faiz tidak bisa mengingat siapa tadi yang memberitahukannya bahwa Bu Ia memanggilnya. “Kalau tidak salah anak kelas 8 Bu,”
“Ya siapa anak kelas 8 itu?”
Faiz menggaruk kepalanya. “Duh, saya lupa Bu, siapa ya…..kok saya bisa lupa?”
Bu Ia menghela nafas. “Ya sudah, tapi Ibu tidak memanggilmu. Mungkin kamu salah dengar.”
Sialan, umpat Faiz. Setelah pamit ia kembali bergegas ke bawah. Semoga masih sempat. Masih ada waktu satu menit lagi! Dengan tergesa-gesa ia menuruni tangga tanpa ia sadar tangga berubin itu masih basah karena hujan turun tadi dan kakinya yang berkaos kaki membuat pijakannya licin. Di anak tangga ketiga paling bawah, terjadilah kecelakaan fatal itu.
Kaos kaki Faiz yang basah membuat dirinya terpeleset dan nyaris membuatnya jatuh. Tubuhnya langsung terlompat ke depan melewati dua tangga sekaligus dan mendarat di bawah. Faiz masih bisa menyeimbangkan badannya namun karena daya dorongnya yang kuat dari lompatan itu, tubuh Faiz belum berhenti meluncur. Lantai bawah pun ternyata masih licin dan tak terelakkan lagi, bagaikan ada sepatu roda di bawah kakinya, Faiz melayang lurus dengan tangan yang berusaha memegang sesuatu untuk menahan laju tubuhnya yang terus maju ke depan.
Brakk!! Faiz mencium daun pintu kelas sebelah yang tertutup. Badannya terpental ke belakang dan ia pun jatuh berdebam di atas punggungnya. Jeritannya membahana akibat sakitnya menabrak pintu dengan kecepatan yang tinggi. Semua yang menyaksikan adegan itu tertawa terpingkal-pingkal, namun saat melihat Faiz menggerang kesakitan, beberapa siswa dan guru memburunya dan membawanya ke kantor yang dekat dari situ.
Jasmine kebetulan ada di depan teras kelasnya dan dia menyaksikan semua itu. Dirinya terhenyak namun dalam bawah sadarnya, dirinya seakan menyadari sesuatu dari apa yang dilihatnya. Kecelakaan Faiz itu mirip dengan apa yang diketiknya kemarin. Imajinasinya saat itu membayangkan apa yang terjadi tadi. Kok bisa? Kata Jasmine dalam hati. Kebetulan kah? Kalau ya, kebetulan yang aneh!
Buntut dari kecelakaan itu membuat Faiz tidak bisa bermain karena kaki kanannya terkilir. Betapa sedihnya Faiz. Untung saja timnya masih bisa bertanding imbang. Hanya itu satu-satunya hiburan bagi Faiz.

Di rumah, Jasmine memeriksa kembali kertas yang diketiknya kemarin tentang Faiz. Ya ampun! Detilnya persis banget! Seperti reka ulang dari apa yang ada di kepalanya. Kok bisa? Berkali-kali pertanyaan itu muncul di benaknya. Namun ia menganggap mungkin itu Cuma kebetulan saja. Benar-benar kebetulan. Kecelakaan itu murni tidak disengaja.
Tapi tak lama kemudian, Jasmine menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh dengan mesin tik itu. Kenapa? Di hari-hari berikutnya, Jasmine kembali mengetikkan sebuah cerpen fiksi tentang teman-temannya dalam bentuk diary, atau buku harian. Dan ajaibnya, kejadian fiksi yang ditulisnya menjadi kenyataan keesokan harinya! Ia menghitung sudah tiga kali ia menemukan keanehan itu. Tiga kali bukan lagi sebuah kebetulan.
Yang pertama tentang Afi yang selalu mendapat nilai kecil di Math. Jasmine mengarang cerita dalam cerpennya bahwa anak itu mendapat nilai 100 pada pelajaran itu. Besoknya, Bu Rika mendadak melakukan tes harian tanpa pemberitahuan sebelumnya. Anak-anak tentu tidak siap. Ajaibnya, Afi menjadi salah satu siswa yang mendapat nilai 100!
Yang kedua tentang pembatalan kegiatan hiking. Jasmine paling benci hiking. Karenanya ia mengarang dalam cerpennya, hiking di sekolahnya dibatalkan karena cuaca buruk. Besoknya, semenjak pagi hujan deras disertai kilat yang banyak turun hingga siang hari sehingga Pak Egi terpaksa membatalkan hiking karena cuacanya tidak mendukung.
Terakhir, dalam cerpennya, ia menuliskan tentang hasil pertandingan TUFC puteri. Ia mengarang bahwa timnya Alya, tim temannya, menang melawan tim lawannya di semifinal. Jasmine tentu dalam hatinya mendukung Alya karena ia teman sekelasnya. Bahkan dalam tulisan itu diceritakan Alya mencetak gol dan pertandingan diputuskan melalui adu penalti. Hebatnya, keesokan harinya tim Alya menang, sesuai dengan gambaran dalam pikiran imajinasinya!
Barulah sekarang Jasmine ngeri. Mesin tik ini seperti alat masa depan. Apa yang dia ketik melalui alat itu akan jadi kenyataan. Apakah memang demikian adanya? Ia harus berbagi cerita dengan seseorang. Tapi siapa? Siapa yang bisa dan mau memercayai bahwa mesin tik tua bisa mewujudkan apa yang kita pikirkan melalui ketikan?
Nama Firda pun terbesit. Ya, Firda pasti mau memercayainya. Lagipula, dia kan yang tahu soal mesin tik ini dari hari pertama. Firda harus membantunya memikirkan tentang keanehan alat ini. Tanpa membuang waktu, Jasmine meneleponnya dan menyuruhnya untuk datang ke rumah.
“kau serius?” kata Firda sambil menyidik saat ia tiba di kamar temannya.
“bener deh. Aku jadi ngeri karenanya.” Jawab Jasmine tegas. “jadi secara tidak langsung aku menyebabkan beberapa hal terjadi, dan itu….itu sungguh tidak lazim, aneh, dan menakutkan.”
“dengarkan dulu sobat,” Firda mengerutkan pelipisnya dengan jari telunjuk. “kau tampak terlihat tidak masuk akal. Maksudmu, mesin tik ini akan menjadikan kenyataan apa yang kau ketik? Begitu?”
Jasmine mengangguk penuh iba.
Firda masih tetap ragu. Ia memerhatikan mata Jasmine yang berkilat-kilat. “usaha yang bagus. Bakat penulismu sudah terlihat. Kau bisa membuat cerita fiksi yang hebat, bahkan aku hampir saja percaya.”
“kau harus percaya! Mesin tik ini punya kekuatan aneh seperti itu! Aku sudah mengalaminya!” sekarang Jasmine berseru agak keras padanya. Tampaknya temannya itu tidak memercayai ceritanya.
“dan kau ingin aku percaya bahwa kau bertanggung jawab atas beberapa kejadian di sekolah?”
“termasuk Faiz,” Jasmine enggan mengakuinya. Tapi bagaimana lagi, sepertinya kecelakaan Faiz lebih disebabkan tulisannya tempo hari itu. “kau kan ada di sini waktu itu. Kau kan baca juga ketikanku saat itu, dan aku ingat, kau pernah mengatakan bahwa andai apa yang aku tulis itu benar adanya! Kalau kau tidak percaya, nih buktinya!”
Jasmine menyodorkan kertas ketikan yang sudah agak lecek pada Firda. Firda kini agak goyah saat membacanya, lalu mengingat-ingat kejadian Faiz yang terpeleset di sekolah. “entahlah Jasmine, ini…ini…. aku rasa Cuma kebetulan….atau saja mungkin….. ya, kebetulan.”
“tiga kali terjadi kau bilang kebetulan??” Jasmine mulai geram pada temannya. Sepertinya cerita saja tidak akan berhasil. “oke, kita buktikan bagaimana? Kau akan jadi saksi hari ini dan kau akan mendukungku jika nanti besok apa yang kita ketik hari ini akan jadi kenyataan.”
Firda menatap temannya tidak percaya.
“bagaimana? Berani?” tantang Jasmine. “kau tidak akan percaya sampai kau mengalaminya sendiri.” Mesin tik yang terpaku di mejanya disodorkan pada temannya itu. Firda tampak menimbang-nimbang antara ragu, tidak percaya dan penasaran. Jasmine kini sudah menyodorkan secarik kertas. Tidak ada ruginya, ia berpikir. Toh, Jasmine pasti Cuma mengarang cerita saja.
“oke, aku mengetik sesuatu…. Kita lihat saja bahwa ketakutan dan ceritamu itu tidak masuk akal.” Firda memasukkan kertas ke gulungan tik dan mulai mengetik dengan memosisikan badannya yang nyaman di meja belajar Jasmine.
“hati-hati dalam menulis sesuatu,” wanti Jasmine. “yang sederhana saja,”
“ya, ya, ga usah diingetin,” gumam Firda yang mulai tenggelam dengan imajinasinya. Jasmine hanya memerhatikan dari sisi kirinya. Beberapa menit kemudian Firda tersenyum puas. Jasmine menoyorkan badannya untuk membaca apa yang baru saja diketik,
‘Faiz si cowok angkuh yang selalu mengganggu Firda kini menyesali perbuatannya. Rupanya Tuhan memberinya pelajaran. Setelah kejadian memalukan tempo lalu …. Karena ceroboh tasnya jatuh ke sungai dekat sekolah hingga buku-buku dan tugas pentingnya basah semua …. Kursinya yang reyot ambruk dan membuatnya terjerembab hingga ditertawakan seluruh kelas …. Faiz menyadari kemalangan ini pasti disebabkan oleh perbuatannya pada seseorang … lalu dia ingat, Firda yang selalu diganggunya …. Tanpa sadar tapi dengan kesadaran mendalam ia berteriak minta maaf pada Firda di saat pelajaran Math …’
“wow,” Jasmine terbelalak. “tidakkah ini keterlaluan?”
Firda mendengus. “biar dia kapok. Aku benci dia. Toh ini kan Cuma imajinasiku saja,”
Jasmine tampak terbata-bata. “ta-tapi ini bakal terjadi!”
“tidak ada yang bakal terjadi!” Firda menegaskan. “ini Cuma tulisan konyol yang tidak berarti apa-apa.. kau hanya tertipu dengan imajinasimu. Coba bayangkan saja, menurutmu Faiz yang kita kenal mau meminta maaf? Sama aku lagi. Kita tahu dia terlalu tinggi hati untuk minta maaf ke siapa pun, kau tahu itu! Jadi aku menuliskan sesuatu yang tidak mungkin untuk membuktikan bahwa apa yang tadi kau ceritakan hanya sugestimu saja.”
Jasmine termenung juga mendengar perkataan temannya. Jika dipikir-pikir, masuk akal juga. Tapi sekarang ia jadi bingung. Jadi selama ini Cuma imajinasinya saja? Apa yang dia pikir kebetulan yang diciptakannya memang hanya kebetulan?
“dengar Jasmine,” Firda seakan bisa membaca pikirannya. “seberapa banyak kita menyaksikan sebuah kebetulan yang menakjubkan dalam hidup kita? Oke, pepatah mengatakan bahwa tidak ada yang namanya kebetulan. Semua pasti ada yang mengatur tapi mungkin saja saat itu Afi memang belajar keras atau ikut les sehingga ia dapat nilai 100; mungkin saja memang saat itu hujan turun karena saat ini yang namanya musim tidak bisa ditebak; dan mungkin saja Tim Alya menang atau dia mencetak gol karena secara peta kekuatan saja Timnya pasti menang dan Alya memang punya bakat bermain bola kok.”
Jasmine akhirnya mengakui logika temannya. Ya, ia mungkin Cuma khawatir dan terlalu membayangkan yang tidak-tidak. Jangan-jangan memang imajinasinya telah membuatnya berpikiran tidak rasional. Jasmine pun tersenyum. Ia mengiyakan semua pendapat Firda tanpa ragu lagi. Sore itu pun mereka menghabiskan waktu dengan bermain di luar, bersepeda santai tanpa sadar bahwa Jasmine dan Firda belum menarik kertas ketikan dari gulungan tiknya.

****
Jasmine tidak tahu bagaimana persisnya, namun di sela tidurnya, telinganya menangkap suara-suara aneh dari samping tempat tidurnya. Aku pasti bermimpi, kata Jasmine. Ia mendengar bunyi ketikan yang halus, suara mesin tik yang sedang bekerja. Siapa yang mengetik ya? Apakah itu suara di dalam kamarnya atau dari luar? Ah, ini pasti mimpi……. Ia mencoba memalingkan wajahnya ke arah meja belajarnya. Antara sadar dan tidak, ia memicingkan matanya untuk melihat apa yang di depannya. seperti ada seseorang yang sedang duduk dan mengetik. Wajahnya tidak terlihat karena memunggungi. Badannya gelap tapi ia masih bisa melihatnya…. Ah, ini pasti mimpi…..

(bersambung…….)

Pagi-pagi benar Jasmine tampak pucat pasi. Ia membaca sesuatu yang mengerikan dari mesin tiknya. Ia tanyai semua orang di rumahnya dengan kalut; siapa yang jahil atau mengetik di kamarnya tadi malam. Semua yang ditanyainya, ayah, ibu, kakak, dan adiknya menjawab sama; mereka tidak pergi ke kamarnya malam kemarin. Ibunya bahkan mengatakan bahwa semalaman Jasmine mengunci kamarnya. Jadi siapa yang bisa masuk?
Tidak puas dengan apa yang didapatnya di rumah, Jasmine dengan tergesa-gesa pergi ke sekolah. Orang pertama yang ditemuinya adalah Firda dan dia langsung menjelaskan masalahnya. Firda hampir tidak percaya. Bagaimana bisa mesin tik bekerja dengan sendirinya? Tapi setelah membaca kertas itu dan Jasmine bersumpah bahwa dia tidak menyentuh mesin itu setelah bermain sepeda, Firda mulai menampakkan ketakutannya. Hasil ketikan itu ada tambahannya, sesuatu yang tidak diketik baik oleh Firda ataupun Jasmine. Berikut adalah tambahan yang membuat keduanya ngeri.
 ‘Faiz si cowok angkuh yang selalu mengganggu Firda kini menyesali perbuatannya. Rupanya Tuhan memberinya pelajaran. Setelah kejadian memalukan tempo lalu …. Karena ceroboh tasnya jatuh ke sungai dekat sekolah hingga buku-buku dan tugas pentingnya basah semua …. Kursinya yang reyot ambruk dan membuatnya terjerembab hingga ditertawakan seluruh kelas …. Faiz menyadari kemalangan ini pasti disebabkan oleh perbuatannya pada seseorang … lalu dia ingat, Firda yang selalu diganggunya …. Tanpa sadar tapi dengan kesadaran mendalam ia berteriak minta maaf pada Firda di saat pelajaran Math …
Penyesalan Faiz atas kemalangan dirinya sangatlah besar. timbul harapan kosong dalam dirinya. Dada dan jiwanya menyempit hingga ke titik akhir. Hari itu adalah bagai neraka baginya. Semua orang membencinya. Hidup tampaknya seperti tidak ada artinya lagi. Ia akan mengakhirinya, tapi sesuai dengan semangat perilakunya, ia akan membuat dirinya dikenang selamanya. Ya, hari itu jam 12.44, ia meloncat dari lantai dua dan menghancurkan segala tulang di tubuhnya’
“kita harus memperingatkannya!” Jasmine berteriak histeris, membuat beberapa siswa tampak kaget dengan teriakannya.
Firda menyeret temannya ke tempat lain. “tidak, jangan. Dia tidak akan percaya,” katanya. “aku saja butuh waktu lama untuk mempercayainya meski aku masih ragu ini akan terjadi.”
“aku akan menjaganya! Aku akan terus memantaunya….. mencegah dia berbuat seperti yang ada diketikan,” tekad Jasmine. “kau tidak bisa menghalangiku..”
Firda mengangguk. “oke, oke, aku akan bantu, kita lihat saja dari jauh.”
Tampaknya apa yang dikhawatirkan Jasmine sudah menampakkan tanda-tandanya. Semenjak kemarin Faiz mengalami hari yang buruk. Masalah di rumah terbawa ke sekolah. Ia datang telat ke sekolah. Karena ia datang sambil berlari, kakinya tersandung sesuatu hingga tas yang dijinjingnya terlempar ke selokan sekolah yang kebetulan ada airnya.
Basahlah semua yang ada di dalamnya. Tugas TOI yang dia kerjakan dengan susah payah dan hari ini harus dikumpulkan pupuslah sudah. Kejadian berikutnya persis seperti yang sudah dibayangkan. Ketika Faiz akan duduk, entah kenapa ia jatuh terjengkang ke belakang dan membuat semua anak di kelas tertawa. Kursinya ternyata patah. Mungkin sudah lapuk.
Sudah dua tanda, kata Jasmine dalam hati. Semenjak pagi ia memerhatikan anak itu terus. Ia masih memikirkan bagaimana caranya Faiz dapat loncat dari lantai dua. Benar saja. Pada jam Math, saat semua anak dengan tenangnya mengerjakan LKS Math, Faiz tiba-tiba berdiri dan berteriak keras pada Firda, “Firda, aku minta maaf!!!”
Sontaklah kagetlah sekelas tapi sejurus kemudian derai tawa menyusul, bahkan ada yang bersiul. Bu Rika bertanya kenapa tiba-tiba ia meminta maaf, lalu Faiz menjawab seperti yang linglung bahwa tadi ia ingat saat tugas Math Firda dua minggu yang lalu ia buang ke tong sampah. Seharian itu Firda menangis karena ia kehilangan tugasnya itu. Entah kenapa Faiz merasa menyesal sekali dan tanpa diperintah oleh otaknya, Faiz berdiri dan meminta maaf.
Jasmine dan Firda saling berpandangan. Firda sama kagetnya dengan Jasmine. Ketikan dia jadi kenyataan! Barulah ia sadar bahayanya mesin tik itu. Pada saat istirahat makan siang, keduanya langsung menghampiri Faiz.
“kau jangan kemana-mana!” larang Jasmine.
“pokoknya jangan jauh-jauh dari kami!” tambah Firda.
Faiz celingukan tidak mengerti.  “Eh –Jasmine, Firda ada apa ini? aku kan tadi sudah minta maaf,”
“ga ada hubungannya dengan itu,” kata Firda. Ia lalu mendehem, “ngomong-ngomong, makasih sudah meminta maaf padaku,”
Alis kanan Faiz terangkat saat Firda mengucapkan kalimatnya setengah gugup,
“pokoknya kamu harus dekat dengan kami!” Jasmine melanjutkan.
“tapi kenapa? Memangnya siapa kalian?”
Jasmine tambah menatap tajam padanya. “akan terjadi sesuatu yang mengerikan pada dirimu,”
Faiz sudah tentu tertawa. “hahaha, makasih deh, aku sudah mengalami hari yang menyebalkan sejak kemarin. Tidak ada yang akan lebih buruk dari itu.”
Faiz ternyata tidak bisa dipaksa diam di kelas. Ia pergi ke kantin. Jasmine dan Firda tetap mengikutinya dari belakang. Faiz menjadi tidak nyaman. “hei, jangan membuntuti aku!”
“kami hanya menjagamu,” jelas Jasmine.
“ya, supaya kamu tidak naik ke lantai dua.”
Faiz hanya geleng kepala tanda tidak mengerti. Ia cuek saja seraya menuju kantin dan bermain bola di lapang. Jasmine dan Firda mengawasi tidak jauh dari situ. Sebentar-sebentar Jasmine melongok jam tangannya, sudah jam 12.15.
 
“Fir, Fir, mana Faiz??” Jasmine yang dari tadi menikmati macaroni goreng seakan teringat sesuatu. Firda pun tampak kaget. Mereka menyebarkan pandangan ke lapangan. Tidak ada. Faiz tidak ada di sana. Bagaimana bisa? Keduanya merasa mereka ada di kantin melihatnya bermain namun entah kenapa seperti terhipnotis, Faiz hilang di depan mata padahal mereka tidak melihat kapan ia menghilang karena ingatan terakhir mengatakan Faiz masih ada di sana sebelum keduanya membeli jajanan.
Jasmine langsung panic. Ia berdiri dengan cepat dan melirik jam tangannya, 12.38, enam menit lagi Faiz akan lompat dari lantai dua!
“ba –bagaimana bisa kita kehilangan dia?” Firda bingung luar biasa. “kita seperti terpaku dan dibuat linglung tak berdaya, seperti….seperti…..”
“seperti kamera CCTV yang merekam sebuah tempat namun gambar kameranya dicurangi seolah kita melihat gambar yang sama padahal waktu terus berjalan.” Jelas Jasmine. “ayo, sekarang cari Faiz, 5 menit lagi!!”
Keduanya berlarian ke arah gedung kampus 3. Jasmine dengan segera naik ke lantai dua sedangkan Firda masih di bawah, tepat di bawah balkon lantai dua. Jasmine lari tanpa berhenti. Kebetulan koridor balkon lantai dua saat itu sepi sekali –tidak biasanya, seolah semua sudah ada yang mengatur. Sedangkan Firda dengan kalut menanyai temannya di mana Faiz berada.
Tepat di samping lab computer, Faiz mematung. Wajahnya kaku sekali dan pandangannya jatuh ke pelataran yang ada di bawah. Di depannya ada kursi kecil. Sepertinya itu yang akan digunakannya sebagai pijakan untuk melompat karena pagar beton balkon cukup tinggi untuk langsung dilompati.
“Faaiiizzzz……berhenti!!!!”  menjerit sambil terus berlari. Tapi sebelum sampai ke tempat berdirinya anak itu Jasmine seketika dihadang oleh sebuah bayangan besar pekat namun sedikit kabur. Bayangan badan yang besar, tiga kali lipat besarnya dari badannya sendiri. Bayangan itu menyerupai manusia namun tidak jelas sekujur tubuhnya dan wajahnya pun hanya sebuah kegelapan dengan sunggingan mulut yang menganga, tanpa mata, hidung dan telinga.
Sontak Jasmine kaget dan hampir terjatuh saat berhenti di depan bayangan itu. Jasmine tidak membuang waktu, ia berdiri lagi namun belum tegak badannya bayangan itu menjulurkan tangannya dan mendorong badan Jasmine untuk jatuh terduduk. Bayangan itu menghalanginya antara dia dan Faiz!
Waktu terus berjalan, tinggal semenit lagi. Jasmine hanya bisa meneriakkan sesuatu untuk temannya yang ada di bawah: “FIRDAAA…….MINTA BANTUANNN!!!!!” 
Firda terkesiap. Ia mendengar teriakan itu. Ia mendongkak ke atas. Ia melihat setengah badan Faiz sudah menyembul keluar balkon. Gawat! Beberapa temannya melihatnya dan berseru-seru pada anak itu tanpa tahu masalah sebenarnya. Teriakan Jasmine terdengar kembali dengan perintah yang sama. itu tandanya ia dalam kesulitan. Sadar tidak ada waktu lagi, Firda berlari sekencang mungkin ke kantor, dan mencari guru yang ada. Untunglah, ada Pak Egi dan Pak Arya.
Sambil setengah teriak-teriak, Firda menyeret kedua gurunya itu untuk datang ke tempat Faiz akan jatuh. Awalnya kedua gurunya itu tidak paham. “Suruh Faiz mundur saja,” kata Pak Arya.
Firda tidak kehilangan akal. Ia mengatakan sesuatu yang mencengangkan. “Pak, Faiz ga lagi sedang main-main di balkon, dia akan loncat bunuh diri!!”
“HAH???” kedua guru itu kaget dan akhirnya mau mengikuti Firda. Pak Egi hendak naik ke lantai dua tapi Firda mengatakan tidak ada banyak waktu. Kebetulan, letak kantor dan letak posisi Faiz akan jatuh dekat tapi Firda lebih berpendapat kedua gurunya untuk bersiap di bawah saja.
10 detik lagi waktu akan habis. Jasmine masih saja dicegal oleh bayangan itu. Ia melihat Faiz sudah siap melompat. Anak itu sepertinya disihir. Ia tidak sadar apa yang dia lakukan. Tapi di bawah sana, berkat Firda semakin banyak yang berkerumun.
Faiz pun meloncat. Jasmine menjerit tertahan. Tubuh Faiz melayang cepat dibantu gravitasi bumi. Pak Egi yang melihat arah jatuhnya segera berlari dan dengan kecepatan yang tepat guru itu menyangga badan Faiz yang terjun bebas. Pak Egi merangkul anak itu lalu terguling-guling akibat efek jatuh. Melihat drama itu, beberapa anak dan guru yang berkerumun menjerit-jerit histeris. Jasmine melongokkan badannya untuk memastikan apa yang terjadi di bawah, saat tahu Faiz selamat, ia bernafas lega dan terduduk lemas.
Ia melirik pada bayangan itu. Bayangan itu mendesis lalu menghilang. Syukurlah, kata Jasmine dalam hati. Aku tidak peduli itu makhluk apa namun yang penting Faiz selamat….. Faiz selamat……
 Faiz siuman dua jam kemudian. Ketika ditanya oleh guru, ia mengaku ia tidak tahu apa yang terjadi atau mengapa ia bisa tidur di ruang UKS. Ia hanya ingat ia sedang bermain bola lalu mendengar ada yang memanggilnya. Setelah itu ia tidak ingat apapun.
Bagaimanapun, aksi Faiz mengejutkan pihak sekolah dan karena khawatir dampak bahaya yang dialami Faiz, sekolah memutuskan akan menghukum berat siapa saja yang berani bermain-main di balkon lantai dua. Sejauh itu sekolah hanya menganggap Faiz berbuat iseng. Sekolah tidak ingin ada siswanya yang celaka dari perbuatan iseng seperti itu.
Jasmine dan Firda memutuskan untuk tidak menceritakan apa yang mereka ketahui namun sesampainya di rumah, mereka berdua membawa mesin tik itu ke bukit belakang kompleks mereka dan di sana lah benda itu dibanting, dan dihancurkan oleh pemukul baseball milik Jasmine.
“mati kau mesin tik jahat!!” maki Jasmine saat memukul bagian terakhir dari mesin tik itu yang utuh. Brakkk!! Hancur sudah berkeping-keping. Orang-orang yang lewat tampak heran melihat kelakuan keduanya merusakkan sebuah mesin tik.
“hei lihat itu,” tunjuk Firda pada sebuah plakat kecil dari potongan pinggiran mesin itu yang hancur. Plakat itu bertuliskan sesuatu yang mengilat. “ada bacaannya.”
Jasmine meraihnya dan membaca plakat kecil itu di tangannya.
‘Berhati-hatilah dalam berpikiran jelek terhadap temanmu karena setan bisa mendengarnya’

THE END...

Komentar

  1. ini ceritanya pak ahmad arafah bukan?

    BalasHapus
  2. Ya ampul.. dunia sempit ya thir, ben..
    ternyata temen aku (athira) kenal sama temen aku (benaya)

    BalasHapus
  3. keren gan artikelnya!!!
    kunjungi juga artikel saya kristoforusyorissmkn13bdg.wordpress.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Diary

Gagal Move On